بِسمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
(قَالَ يُوسُفُ لِأَبِيهِ يَا أَبتِ إِنِّي رَأَيْتُ أَحَدَ عَشَرَ كَوْكَباً وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ رَأَيْتُهُمْ لِي سَاجِدِينَ (وسف : 4
(قَالَ يَا بُنَيَّ لاَ تَقْصُصْ رُؤْيَاكَ عَلَى إِخْوَتِكَ فَيَكِيدُواْ لَكَ كَيْداً إِنَّ الشَّيْطَانَ لِلإِنسَانِ عَدُوٌّ مُّبِينٌ (يوسف : 5
"(Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya:
'Wahai Ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan
bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku.' Ayahnya berkata: 'Hai anakku,
janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, maka mereka
membuat makar untuk (membinasakan)mu. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh
yang nyata bagi manusia.'" (QS. Yusuf : 4-5)
Lihatlah dialog yang terjadi
antara ayah dan anak dalam ayat di atas. Sungguh adalah dialog yang indah.
Dialog yang menggambarkan begitu dekatnya hubungan antara anak dan ayah.
Sesuatu yang sekarang begitu jarang kita lihat. Ayah dan anak seringkali merasa
asing. Bertegur sapa sebatas perlu. Layaknya orang yang sedang menunggu antrian
busway. Isinya pun seputar PR anak, makan dan biaya kuliah. Fisik mereka
serumah namun jiwa mereka terpisah lain dunia.
Yusuf, dalam ayat
tersebut diceritakan mendatangi ayahnya. Bertanya tentang sesuatu yang sangat
pribadi. Yakni tentang mimpi yang dialaminya. Sebuah hal yang menunjukkan ia
hanya akan tanyakan sesuatu kepada orang yang paling ia percaya. Dan ayahnya
pun memahami arti mimpi tersebut bahwa itu adalah kabar gembira dari ALLAH untuknya. Dan demi menjaga hal yang tidak diinginkan, maka ia pun menasehati
anaknya agar berhati-hati dengan mimpinya terutama tak menceritakan kepada
saudaranya.
Yang menarik dari dialog
di atas adalah panggilan Yusuf kepada ayahnya menggunakan sebutan يا أبت, seolah-olah orang yang dipanggil, yakni
Ya’qub ayahnya, berada di tempat yang jauh, padahal dia ada di depannya. Orang
yang ada di depannya dibuat seakan-akan berada di tempat yang jauh menandakan
ia dinantikan kehadirannya, karena yang dimaksudkan adalah menghadirkan hatinya
dan perhatian terhadap sesuatu yang akan diceritakan (Hiwarul Aba’ Ma’al Abna
fiil Qur’anil Kariim wa Tathbiqotuhut Tarbawiyah, Sarah Binti Halil Ad Dakhili)
Dari sinilah kita bisa
mengambil dua pelajaran penting dalam konteks pengasuhan saat ini :
1. Adakah AYAH menjadi figur yang dirindukan oleh anaknya?
2. Sejauh mana anak menaruh kepercayaan terhadap sang ayah?
Ayah yang dirindukan.
Ini menunjukkan ikatan hati yang terjalin sedemikian erat. Kesibukan ayah dalam
mencari nafkah tak menghalanginya untuk menjalin ikatan batin kepada anaknya.
Sehingga tiap pertemuan dirasa begitu berharga oleh anak. Kadang hanya singkat
namun memberi makna. Ada kesan mendalam yang digoreskan dalam batin anak. Tentu
hal ini terjadi jika ayah betul-betul menjalankan fungsinya sebagai pengasuh
sekaligus pengasih.
Ketidakmampuan ayah
menghadirkan kerinduan dalam jiwa anak berakibat kepada beralihnya perhatian
anak kepada sosok-sosok lain diluar sana. Televisi dan segala perangkat digital
menjadi rujukan mereka sekaligus pengisi kekosongan jiwa anak akan hadirnya
ayah. Jiwa mereka telah terikat oleh pahlawan-pahlawan rekayasa buatan media.
Dampaknya, kepulangan ayah ke rumah tak lagi dianggap istimewa. Ucapan salam
ayah di depan teras rumah tak menggetarkan jiwa mereka untuk menyambut. Kalah
dengan teriakan tukang bakso yang kadang membuat sebagian anak histeris
menyambutnya.
Ketidakrinduan anak
kepada ayah ini menjadikan fungsi ayah terbatas hanya kepada dua hal :
1. Memberi nafkah
2. Memberi izin untuk menikah
Tanpa sadar, anak
menganggap ayah sebatas mesin ATM. Didatangi saat kehabisan uang belanja.
Kehadiran ayah dirasa ada dan tiada. Bahkan banyak yang merasa sudah yatim
sebelum waktunya meski sang ayah masih ada di sekitarnya. Wal’iyadzubillah…
Jika ini dibiarkan
terjadi, maka hilanglah rasa kepercayaan anak kepada sang ayah. Dan ini
ditandai dengan banyaknya ayah yang tak tahu kapan pertama kali anak lelakinya
mimpi basah. Kenapa demikian? Sebab anak merasa sungkan untuk bertanya akan
masalah seksualitas yang dialaminya.
Bayangkan! Ayah menuntut anaknya
untuk sholat subuh ke mesjid. Sementara anaknya baru saja mengalami mimpi basah
dan tak tahu harus mandi junub. Sholat si anak tidak sah. Tentu ayahlah sebagai
penanggungjawabnya.
Menjadi ayah yang
dirindukan memang tak mudah. Layaknya menanam benih hingga menjadi tanaman padi
yang bernas, butuh ketekunan, keseriusan dan kesabaran. Namun kelak ayah akan
memanen hasilnya. Yakni berupa kepercayaan dari anak. Saat anak betah
berlama-lama bercerita di hadapan ayah akan kegiatan sehari-harinya. Menjadikan
ayah rujukan informasi pertama. Bahkan saat anak hadapi suatu masalah, ia tahu
kepada siapa ia mencari solusi. Tak lain adalah ayahnya.
Bagi anak yang telah timbul rasa
kepercayaan kepada ayahnya, sang ayah telah menjelma menjadi ‘super hero’
pertamanya. Memberi inspirasi di sepanjang perjalanan usia anak. Bahkan hingga
ia berusia dewasa dan menua.Tidakkah ini menjadi hal yang
begitu menggembirakan bagi sang ayah?
Saat petuah dan nasehat ayah senantiasa didengarkan dan
dipatuhi anak. Bahkan saat ayah meninggal dunia, tak henti-hentinya anak
mendoakannya seraya memohon ampun bagi sang ayah. Dan hal ini berdampak kepada
kebahagiaan ayah di akhirat.
Perhatikanlah hadits
berikut ini :
إن الرجل لترفع درجته
في الجنة فيقول : أنى
لي هذا ؟ فيقال
: باستغفار ولدك لك
“Sesungguhnya ada seorang ayah yang
diangkat derajatnya di surga, maka iapun heran dan berkata : "Bagaimana
ini bisa untukku?" Maka dikatakan : "Disebabkan anakmu beristighfar
(memohonkan ampun) untukmu"” (HR. Ahmad, Al Baihaqi)
Subhanallah. Maka, jadilah ayah
yang dirindukan. Ayah yang tak sekedar mengurus kebutuhan fisik anak namun juga
jiwanya. Luangkan waktu untuk berbincang mesra bersama mereka. Tak boleh ada
media lain yang membuat kekhidmatan obrolan menjadi rusak. Abaikan dulu HP,
laptop dan segala jenis media yang selalu menempel di dekat ayah. Sebab anak
juga punya perasaan. Tak ingin diduakan.
Kelak ayah akan menjadi sosok
layaknya Ya’qub. Yang begitu dekat dengan anak-anaknya. Menjadi figur yang
utama dalam kehidupan mereka. Mengiringi perjalanan hidup anak hingga mereka
dewasa. Meski raga terpisah namun hati terikat dalam jalinan cinta. Seraya
berharap terkumpul bersama di surga.Ya, negeri ini sedang darurat ayah. Dengan kata lain
anak-anak kita butuh hadirnya sosok ayah. Ayah yang siap mengorbankan
kesenangannya menonton bola di malam hari untuk membacakan cerita sebelum anak
tidur. Ayah yang siap mengeluarkan segala jurus untuk mengikat hati anaknya.
Ayah yang menjadi pahlawan pertama bagi mereka. Agar tak ada lagi anak-anak
yang begitu ditanya : "Dimana ayahmu?" Mereka cuma bisa menjawab
"Tau’ ah gelap".
......wahai Ayah, pulanglah
!......
Oleh : Ustadz
Bendri
=================
📜 Edisi : jumat
📆 17 Jumadhil Awal 1437 H
📆 26 Februari 2016
=================
Repost by :
arif al hakim
Membangun Generasi Qur'an
_______________________________